Rabu, 21 September 2011

Hiperseks Penyakit Superclass? Dunia tercengang ketika pegolf terbaik di dunia, Tiger Woods (33), dikabarkan terlibat skandal seks dengan sejumlah wanita. Hebohnya lagi, pria sukses nan alim itu disebut-sebut pula mengalami kecanduan seks. Rachel Uchitel memang tidak muda lagi. Usianya 33 tahun. Tetapi, saya mengerti mengapa Tiger tergila-gila padanya. Wanita ini punya tampilan fisik superaduhai. Wajahnya cantik sempurna dengan bibir sensual, perutnya rata, pinggulnya melekuk indah, dada bulat membusung, dan... ah, maaf, saya tidak sanggup menggambarkan bagian tubuhnya yang lain. Tetapi, jangan salahkan tubuhnya itu. Meskipun Daily Mail menulis bahwa ia adalah party hostess yang bertugas menemani pria iseng di pesta, konon, dia seorang maniak seks pula. Karena itulah, Rachel setali tiga uang dengan Tiger. YANG TERUNGKAP DARI YAGN TENAR Tiger memiliki topeng. Jika selama ini publik mengenalnya sebagai pria sempurna yang memiliki keluarga kecil bahagia, memiliki istri mantan model yang tak perlu diragukan lagi kecantikannya (Elin Nordegren), punya kekayaan dalam angka triliunan rupiah, serta kemenangan-kemenangan fenomenalnya yang dicatat sejarah, Tiger ternyata punya gairah seksual yang abnormal. Seperti ditulis Vanity Fair, ketika peristiwa kecelakaan yang menimpa dirinya pada suatu pagi di bulan November 2009, ketika itu pula terungkap beberapa affair-nya, seperti: seks quickie di parkiran sebuah gereja, membayar 60.000 dolar untuk wanita panggilan, melakukan threesome, pesta seks dengan bintang porno dan waitresses di kelab malam, menikmati aksi lesbian, hingga fakta yang terang-benderang, yaitu petualangan seksnya bersama Rachel. “Oh, jangan Tiger. Mungkin dia sedang khilaf,” beberapa wanita mungkin akan berteriak demikian. Tapi percayalah, tak ada khilaf yang terjadi berulang kali. Toh, Tiger tak bisa lari dari kenyataan bahwa ia membutuhkan terapi untuk masalah seksualnya: enam puluh ribu dolar AS untuk tidak bercinta maupun bicara seks selama enam minggu, di Pine Grove Behavioral Health and Heck. Seperti diulas Woman’s Weekly, kejadian serupa juga dialami Charlie Sheen, Michael Douglas, dan David Duchovny. Selebritas yang disebut terakhir, meskipun tidak berselingkuh, tapi membuat istrinya, aktris Tea Leoni, sangat menderita karena kuantitas dan intensitas seksnya yang luar biasa tinggi. Kecanduan seks pula kabarnya yang membuat perkawinan penyanyi R&B, Eric Bennet dengan Halle Berry, bubar. Plus, Warren Beatty, yang konon pernah meniduri 13.000 wanita. Mereka, orang-orang terkenal itu, menderita karena hiperseks. “Tiger Woods menjadi hiperseks mungkin karena tekanan untuk selalu tampil sempurna di mata publik,” demikian vonis seorang kolega senior saya. ”Seks menjadi pelampiasan atau pelarian Tiger untuk mereduksi tekanan-tekanan akibat popularitasnya.” Saya mengangguk-angguk saja. “Tapi, bisa jadi itu karena karakter, yang sudah dibawa sejak lahir,” seorang kawan mencoba menyempurnakan pendapat sang senior. “Tentu. Tapi harus ada pencetusnya, dong!” sergah sang senior lagi. Saya segera menarik diri dari perdebatan mereka. Tetapi, saya pikir, boleh jadi mereka benar. Ketenaran dan status sosial sebagai superclass, orang-orang yang punya andil dalam menentukan perubahan dunia, pastilah membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit. Sebuah pernyataan yang saya inti sarikan dari buku The Winner Stands Alone karya Paulo Coelho. SIAPA PUN BISA MENGALAMI Dugaan ini diperkuat ahli masalah seks di On Clinic Jakarta, dr. M Nasser., SPKK., D.Law. “Dalam kurun 15 tahun, ada perdebatan besar mengenai hiperseks. Teori pertama diungkapkan Jose Catalan dalam Journal of Forensic Psychiatry and Psychology. Disebutkan, ciri hiperseks: punya akses di berbagai tingkatan status (terutama kalangan atas), memiliki kemampuan manajerial yang baik, selalu punya ide cemerlang, kreatif, sekaligus pintar berimprovisasi, tapi ide mereka kerap melompat-lompat, berimajinasi seksual tinggi, dan ada ketidakseimbangan hormonal dalam tubuh mereka.” Bintang-bintang yang telah saya sebutkan di atas, setidaknya memiliki empat dari ciri tersebut. Mereka kaya, dan merupakan orang-orang terdepan di industri yang mereka geluti. Sebagai bintang, pasti mereka mampu mengelola diri sebaik mungkin, dan aktris adalah ‘makhluk’ yang identik dengan kemampuan improvisasi plus imajinasi yang tinggi. Di luar profesi aktris, ingatan saya melayang pada Napoleon Bonaparte, sang penakluk setengah dunia yang bertubuh kecil dari Prancis. Napoleon, yang juga seorang hiperseks, punya kebiasaan aneh. Ia selalu meminta wanita yang akan tidur dengannya agar tidak mandi terlebih dahulu. Bau tubuh asli para wanita itu konon membakar gairahnya hingga ke ubun-ubun! Wow... imajinasi seksual yang liar. Tetapi, apa benar hiperseks cuma identik dengan kalangan superclass? “Nah, teori kedua, diulas oleh Martin Kafka dari Harvard Medical School. Ia mengatakan, hiperseks sangat dipengaruhi oleh uang, kekuatan, dan kesempatan. Artinya, siapa saja bisa menjadi hiperseks,” kata dr. Nasser. Teori ini jelas memperkuat teori pertama, meskipun setidaknya memberi pula kesempatan pada orang-orang biasa untuk menjadi hiperseks, asal mereka punya kesempatan. Mendadak saya nyengir. “Kenapa?” kata dr. Nasser, melihat seringai di mulut saya. “Mmh, seberapa sering, sih, hiperseks bercinta tiap minggunya?” tanya saya, mengingat hari-hari indah penuh kesempatan ketika baru saja menjadi pengantin baru. “Normalnya, tiga hingga empat kali seminggu. Lebih dari itu, mungkin ada kecenderungan hiperseks,” katanya. Otak saya langsung mencerna jawaban itu dengan pernyataan (bukan pertanyaan), ”Hanya sesedikit itu?” Rupanya, meski mulut ini bungkam, mimik saya terbaca oleh dr. Nasser. “Ya. Tetapi, tergantung banyak hal juga, misalnya seorang pria bisa bercinta berkali-kali di usia 20-an karena hormon testosteronnya melimpah, atau wanita akan makin ‘panas’ menjelang usia 40-an, atau ketika pria makin genit ketika memasuki masa puber kedua di usia 30-40 tahunan,” sambungnya. ”Dan, itu bukanlah hiperseks.” Sebuah komentar yang langsung membunuh sikap ge-er saya. HIPERSEKS & PENGOBATANNYA “Tapi, untuk mereka yang hiperseks, jika sedang bergairah dan tak bisa melampiaskannya, mereka akan kecewa, cemas, dan sedih. Jadi, mereka memang kesulitan menunda keinginan seksnya,” kata sahabat saya, psikiater dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dr. Danardi Sosrosumihardjo., Sp.KJ. “Hiperseks mengacu pada dua hal. Pertama, keterkaitan dengan waktu, yaitu periode waktu yang pendek untuk terus-menerus bisa menikmati seks. Singkatnya, hidupnya terobsesi pada seks sehingga akhirnya perilaku sehari-harinya terganggu. Dan, yang kedua, terkait dengan partner atau keinginan berganti-ganti pasangan,” kata dr. Danardi lagi. “Kedua hal ini bisa dikombinasikan. Atau sebaliknya, kuantitas seks yang tinggi dengan pasangan yang sama.” Saya pun teringat David Duchovny. Kenapa seseorang bisa menjadi hiperseks? “Genetika, sesuatu yang sudah ada dalam garis darahnya. Lalu, keseimbangan hormon, misalnya hormon testosteronnya berlimpah, lingkungan, dan yang paling utama: kesempatan,” kata dr. Nasser. Lingkungan dan kesempatanlah yang membuat Mike Tyson tidak bisa melihat seorang wanita tampil dengan pakaian agak minim. Hal yang membuat Tyson harus mendekam di penjara karena kasus kekerasan seksual. Menariknya, selama puluhan tahun menjadi psikiater, dr. Danardi mengaku baru dua kali mendapatkan pasien yang mengeluh karena hiperseksnya. “Barangkali kelainan ini bukan dianggap sesuatu yang serius, melainkan hal yang biasa,” kata dr. Danardi. Padahal, lanjut dr. Danardi, mereka yang hiperseks sangat sulit menyembuhkan dirinya sendiri. Di sisi lain, biasanya ritme harian mereka pun terganggu karena dalam sehari bisa dua hingga tiga kali melakukan hubungan seks. Jangan dulu lega bahwa masalah ini hanya terjadi pada pria. Dalam sebuah obrolan dengan seorang pria eksekutif, saya menemukan fakta: ternyata ada juga wanita yang memiliki kecenderungan hiperseks. “Saya terkejut, ternyata istri saya superaktif di tempat tidur,” katanya. Jika dilihat sekilas, istrinya adalah tipikal wanita cantik, menarik, dan sopan. Tapi, dalam satu hari dia bisa mengajak bermesraan sampai empat kali. Istrinya akan memesankan kamar hotel dekat kantornya untuk bercinta di jam makan siang. Pulang kantor, dapur pun jadi lokasi percintaan yang hangat. Malam, setelah nonton DVD panas, istrinya akan mengajak bercinta lagi, disambung sekali lagi pada dini hari atau quickie pagi sebelum ke kantor. Meski awalnya si suami enjoy saja mengimbangi, lama-kelamaan dia kewalahan juga. “Capek banget. Saya selalu kehabisan energi selama di kantor. Kalau terus-menerus begini, bisa-bisa saya jobless. Bayangkan, saya baru bisa berhenti bercinta kalau saya ngabur main tenis dan golf seharian di hari Sabtu,” katanya, lirih. Saya berpikir bahwa para hiperseks bukan hanya membahayakan orang lain, tapi juga dirinya sendiri. “Ya. Mereka butuh bantuan. Biasanya kami akan memberikan obat antidepresan untuk mengatasi depresinya, dan major tranquillizers untuk mengendalikan keinginan seksualnya,” kata dr. Danardi. Entahlah, mungkin ada yang malu mengungkapkannya, meski hidupnya menderita. Atau malah bangga karena punya 1001 ke­sempatan untuk melakukannya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar